Makalah Menikahi Anak Di Bawah Umur
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu lembaga suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berangkat dari pemikiran tersebut, kita perlu mengetahui bagaimana konsep yang tepat mengenai hak asasi menikah yaitu yang tidak melanggar hak asasi yang lain.
Oleh karena itu, kami merasa perlu mengupas tentang permasalahan pernikahan anak di bawah umur yang masih menjadi topik pembicaraan yang hangat bagi masyarakat, sebab pernikahan anak di bawah umur terus dibayangi kontroversi mengenai dilematis dua hak asasi manusia, yaitu hak asasi pernikahan atau perkawinan dengan hak asasi perlindungan anak yang keduanya dihadapkan pada suatu perdebatan sengit terkait dengan hak asasi menikah yang diprioritaskan terlebih dahulu, mengingat kedua hak asasi tersebut sama-sama penting bagi seseorang yang berkehendak untuk menuntut akan pemenuhan hak asasi atas kepentingan pribadinya.
Untuk itu, perlu adanya pengkajian terhadap masalah ini, agar kita menemukan jawaban yang memuaskan dan mencari solusi yang tepat guna menghadapi, sekaligus menyelesaikan permasalahan ini.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk memudahkan dalam pembahasan masalah, maka penulis membatasi permasalahan ini pada :
1. Mengapa pernikahan anak di bawah umur menimbulkan kontroversi?
2. Bagaimana hukum pernikahan anak di bawah umur menurut pandangan Islam?
3. Bagaimana hukum pernikahan anak di bawah umur menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?
4. Bagaimana upaya menyikapi atau mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu :
1. Mendorong seseorang agar mengetahui konsep pernikahan yang benar dan yang tidak menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat.
2. Menganalisis hukum pernikahan anak di bawah umur menurut pandangan Islam dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
3. Menciptakan upaya untuk menyikapi atau mencegah terjadinya pernikahan anak di bawah umur.
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini, yaitu :
1. Mewujudkan kesadaran seseorang untuk mematuhi hukum yang berlaku.
2. Menumbuhkan sikap menghormati dan menghargai hak asasi manusia
3. Mengembangkan pola pikir dan perilaku manusia yang bermoral atau yang sesuai dengan norma.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
3.1. Pernikahan Anak Di Bawah Umur Menurut Pandangan Islam
Al Qur`an dan hadits tidak menyebutkan secara spesifik tentang usia minimum untuk menikah. Persyaratan umum yang lazim dikenal adalah sudah baligh, berakal sehat, mampu membedakan yang baik dengan yang buruk sehingga dapat memberikan persetujuannya untuk menikah. Pasal 16 KHI menyebutkan bahwa: Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat, tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Sama halnya dengan hukum adat. Hukum adat Indonesia, yang berbeda dari satu wilayah dengan wilayah lain, adalah hukum kebiasaan tak tertulis yang tak mengenal pembakuan umur seseorang dianggap layak untuk menikah. Biasanya seorang anak dinikahkan ketika ia dianggap telah mencapai
Maka dari itu, secara eksplisit hukum Islam tidak mencantumkan secara jelas larangan untuk menikah di bawah umur. Penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat yang berkompeten. Namun demikian perkawinan di bawah umur dapat dicegah dan dibatalkan. Pasal 60 KHI menyebutkan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai, suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami, serta pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan (vide pasal 62, 63, dan 64 KHI).
KHI juga menyebutkan perkawinan dapat dibatalkan antara lain bila melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 (vide pasal 71). Para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:
Maka dari itu, secara eksplisit hukum Islam tidak mencantumkan secara jelas larangan untuk menikah di bawah umur. Penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari pengadilan atau pejabat yang berkompeten. Namun demikian perkawinan di bawah umur dapat dicegah dan dibatalkan. Pasal 60 KHI menyebutkan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai, suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami, serta pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan (vide pasal 62, 63, dan 64 KHI).
KHI juga menyebutkan perkawinan dapat dibatalkan antara lain bila melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 (vide pasal 71). Para pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:
1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri
2. Suami atau isteri;
3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-Undang;
4. Para pihak berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundangan-undangan (vide pasal 73).
3.2. Pernikahan Anak Di Bawah Umur Menurut Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku Di Indonesia
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak – sebagai instrumen HAM menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Disebutkan pula, penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:
1. Non diskriminasi;
2. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
4. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera (vide pasal 3).
Dalam pasal 13 ayat 1 : setiap anak dalam pengasuhan orang tua,wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :
1. Diskriminasi
2. Eksploitasi . baik ekonomi maupun seksual
3. Penelantaran
4. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan
5. Ketidakadilan
6. Perlakuan salah lainnya.
Selain itu orang tua dan keluarganya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak seperti yang tertulis dalam UU No. 23 Tahun 2002 pasal 26 ayat 1: orang tua berkewajiban dan bertangggung jawab untuk :
1. Mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
2. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya
3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.
UU perlindungan anak dengan sangat jelas mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan anak. Maka sangatlah mengherankan bila terjadi pelanggaran terhadap anak dalam konteks pernikahan anak di bawah umur. Terkait dengan kasus di atas, dapat dikatakan bahwa mendukung pernikahan anak di bawah umur dengan alasan mengikuti sunnah nabi SAW, sangatlah bertentangan dengan UU perlindungan anak yang ada di negara kita.
UU perlindungan anak dengan sangat jelas mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan anak. Maka sangatlah mengherankan bila terjadi pelanggaran terhadap anak dalam konteks pernikahan anak di bawah umur. Terkait dengan kasus di atas, dapat dikatakan bahwa mendukung pernikahan anak di bawah umur dengan alasan mengikuti sunnah nabi SAW, sangatlah bertentangan dengan UU perlindungan anak yang ada di negara kita.
3.3. Tinjauan Kritis Dari Segi Sosio-Ekonomi
Jika dilihat dari aspek ekonomi, pernikahan anak di bawah umur menimbulkan masalah dalam hal perlindungan anak, sebab dalam realita yang ada terjadi di masyarakat, pernikahan ini acapkali dijadikan dalih para orang tua untuk mengeksploitasi atau ‘mengorbankan’ anak mereka demi terpenuhinya kebutuhan ekoomi keluarga. Di samping itu, pernikahan anak di bawah umur dinilai telah mengabaikan dan bahkan merendahkan derajat serta martabat perempuan. Dampak dari pernikahan ini seringkali menimbulkan trauma seksual serta berdampak buruk pada kesehatan reproduksi anak perempuan.
Secara mental psikologis, si anak juga dirasa belum mampu membuat keputusan yang tepat bagi dirinya untuk menanggung beban tanggung jawab mengurus kehidupan rumah tangga yang semestinya adalah untuk orang yang cukup umur atau dewasa. Selain itu, bagi pihak anak secara tidak disadari banyak negative yang akan timbul diakibatkan pernikahan ini; yakni mulai dari terbatasnya pergaulan hingga hilangnya masa bermain dengan anak sebaya yang berimbas pada perkembangan mental dan emosional si anak.
Secara mental psikologis, si anak juga dirasa belum mampu membuat keputusan yang tepat bagi dirinya untuk menanggung beban tanggung jawab mengurus kehidupan rumah tangga yang semestinya adalah untuk orang yang cukup umur atau dewasa. Selain itu, bagi pihak anak secara tidak disadari banyak negative yang akan timbul diakibatkan pernikahan ini; yakni mulai dari terbatasnya pergaulan hingga hilangnya masa bermain dengan anak sebaya yang berimbas pada perkembangan mental dan emosional si anak.
3.4. Tinjauan Kritis Dari Segi HAM
Instrumen Hak Asasi Manusia merujuk pada apa yang bersifat internasional (international human rights law) ataupun yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah RI tentang batas usia perkawinan. Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child 1990 yang telah diratifikasi melalui Keppres No. 36 Tahun 1990) tidak menyebutkan usia minimal pernikahan selain menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Juga setiap negara peserta konvensi diwajibkan melindungi dan menghadirkan legislasi yang ramah anak, melindungi anak dan dalam kerangka kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).
Konvensi tentang Kesepakatan untuk Menikah, Umur Minimum Menikah dan Pencatatan Pernikahan (Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage and Registration of Marriages) 1964 menyebutkan bahwa negara peserta konvensi ini akan mengupayakan lahirnya legislasi untuk mengatur permasalahan umur minimum untuk menikah dan bahwasanya pernikahan yang dilakukan di luar umur minimum yang ditetapkan adalah tidak berkekuatan hukum, terkecuali otoritas yang berwenang menetapkan dispensasi tertentu dengan alasan yang wajar dengan mengedepankan kepentingan pasangan yang akan menikah.
Indonesia belum menjadi negara pihak dari Konvensi 1964 tersebut, namun telah menetapkan usia minimum pernikahan melalui UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, alias sepuluh tahun setelah Konvensi tersebut lahir.
Jadi, perkawinan anak perempuan di bawah umur dinilai telah melanggar hukum dan hak azasi manusia. karena anak dibawah umur itu belum memahami tentang reproduksi secara biologis. Usia dini itu tidak siap hamil karena organ tubuhnya masih lemah dan itu juga berbahaya bagi bayi yang akan dilahirkan.
Jadi, perkawinan anak perempuan di bawah umur dinilai telah melanggar hukum dan hak azasi manusia. karena anak dibawah umur itu belum memahami tentang reproduksi secara biologis. Usia dini itu tidak siap hamil karena organ tubuhnya masih lemah dan itu juga berbahaya bagi bayi yang akan dilahirkan.
3.5. Upaya Pencegahan Terjadinya Pernikahan Anak Di Bawah Umur
Pasal 288 KUHP telah menyebutkan bahwa barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, Jika mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara paling lama delapan tahun dan jika mengakibatkan mati diancam pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Namun perlu diketahui bahwa masalah Perkawinan adalah masalah perdata. Kalaupun terjadi tindak pidana dalam perkawinan seperti disebut pasal 288 KUHP, seringkali penyelesaiannya secara perdata atau tidak diselesaikan sama sekali. Sebab, terkait dengan rahasia ataupun kehormatan rumah tangga. Seringkali pihak istri atau keluarganya tidak melaporkan kekerasan tersebut entah karena alasan takut, aib keluarga, atau kesulitan dalam menghadirkan alat bukti.
Langkah paling maju yang dapat dilakukan untuk menekan laju pernikahan di bawah umur adalah dengan mencegah atau membatalkan perkawinan jenis tersebut. Namun sekali lagi, perlu ada keberatan dari salah satu mempelai, keluarga, ataupun pejabat pengawas perkawinan. Apabila pasangan mempelai dan juga keluarga tak keberatan maka tindakan yang paling mungkin dilakukan adalah tidak mencatatkan pernikahannya di hadapan Kantor Pencatat Nikah (KUA atau Kantor Catatan Sipil). Otomatis pernikahan yang tidak tercatat di lembaga pencatat nikah adalah pernikahan yang tidak berkekuatan hukum, kendati barangkali dapat disebut sah menurut keyakinan agama masing-masing pasangan.
Pasal 20 dan 21 UU No. 1 tahun 1974 cukup tegas dalam masalah ini. Disebutkan bahwa pegawai pencatat pernikahan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui antara lain adanya pelanggaran dari ketentuan batas umur minimum pernikahan.
Namun perkawinan yang tak dicatatkan juga bukan tanpa resiko. Yang mengalami kerugian utama adalah pihak istri dan anak-anak yang dilahirkannya. Karena, apabila ia tak memiliki dokumen pernikahannya, seperti surat nikah, maka ia akan kesulitan mengklaim hak-haknya selaku istri terkait dengan masalah perceraian, kewarisan, tunjangan keluarga, dan lain-lain.
Jadi, upaya pencegahahan pernikahan dibawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam upaya pencegahan pernikahan anak di bawah umur. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan langkah terbaik yang diharapkan untuk mencegah atau meminimalisir pernikahan anak di bawah umur. Control social masyarakat sangat diharapkan untuk hal ini, sehingga ke depannya anak-anak negeri ini tidak lagi menjadi korban pernikahan di usia muda, tetapi memiliki masa depan yang cerah untuk meraih cita-citanya.
Namun perkawinan yang tak dicatatkan juga bukan tanpa resiko. Yang mengalami kerugian utama adalah pihak istri dan anak-anak yang dilahirkannya. Karena, apabila ia tak memiliki dokumen pernikahannya, seperti surat nikah, maka ia akan kesulitan mengklaim hak-haknya selaku istri terkait dengan masalah perceraian, kewarisan, tunjangan keluarga, dan lain-lain.
Jadi, upaya pencegahahan pernikahan dibawah umur dirasa akan semakin maksimal bila anggota masyarakat turut serta berperan aktif dalam upaya pencegahan pernikahan anak di bawah umur. Sinergi antara pemerintah dan masyarakat merupakan langkah terbaik yang diharapkan untuk mencegah atau meminimalisir pernikahan anak di bawah umur. Control social masyarakat sangat diharapkan untuk hal ini, sehingga ke depannya anak-anak negeri ini tidak lagi menjadi korban pernikahan di usia muda, tetapi memiliki masa depan yang cerah untuk meraih cita-citanya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan dan Saran
Pernikahan meruapakan suatu perbuatan yang sangat sacral. Untuk menjaga kesakralan tersebut hendaknya pernikahan dilakukan dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku, baik peraturan agama maupun peraturan Negara tempat berlangsungnya pernikahan tersebut.
Terkait dengan pernikahan anak di bawah umur yang merupakan suatu fenomena sosial yang seringkali terjadi di Indonesia, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi diharapkan bisa menjadi penengah di anatara pihak-pihak yang berselisih dan mampu menegakkan regulasi dalam hal pernikahan anak di bawah umur. Sinergi antara kedua belah pihak, yaitu antara pemerintah dan masyarakat merupakan jalan keluar terbaik yang bisa diambil sementara, agar pernikahan anak di bawah umur bisa dicegah dan ditekan seminimal mungkin keberadaannya di tengah masyarakat.
Seringkali para pelaku pernikahan di bawah umur menggunakan dalih utama mengikuti sunnah nabi SAW untuk melegalkan perbuatannya. Karena itu diharapkan kepada seluruh masyarakat terkhusus umat muslim untuk senantiasa mempertimbangkan perbuatannya dalam hal meneladani sunnah nabi SAW untuk menikahi anak di bawah umur. Terkait dengan dalih mengikuti sunnah nabi SAW seringkali menimbulkan permasalahan, karena masih terdapat banyak pertentangan di kalangan umat muslim tentang kesahian informasi mengenai pernikahan di bawah umur yang dilakukan Nabi SAW dengan ‘Aisyah r.a. Selain itu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dengan sangat jelas menentang keberadaan pernikahan anak di bawah umur. Jadi, tidak ada alasan lagi bagi pihak-pihak tertentu untuk melegalkan tindakan mereka menikahi anak di bawah umur.
DAFTAR PUSTAKA
Doi, I Rahman Abdul. Prof. Ph.D. Perkawinan Dalam Syariat Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1992.
Ramulyo, Idris Mohd, SH.,M.H. Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1996.
Islamlib.Com
Kompas.Com
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak